Jumat, 20 Juli 2012

OPINI LAYANAN PENDIDIKAN BERKUALITAS

MEMBANGUN MUTU PENDIDIKAN MELALUI LAYANAN JASA PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS
Oleh Elmiyana Garmawandi *)

SALAH satu tantangan penting yang dihadapi sekolah saat ini adalah bagaimana sekolah mengelola mutu, khususnya mutu pendidikan. Otonomi sekolah sebagai wujud desentralisasi pendidikan di sekolah, telah membawa angin segar bagi upaya partisifatif, demokratif dan kreatif warga sekolah untuk membangun dan menciptakan sesuatu yang berbeda secara efisien, inovatif dan kompetitif yang menjadikan sebuah sekolah berbeda dengan sekolah lain dalam layanan sebagai suatu proses bermutu.
Sekolah merupakan organisasi atau entitas yang menyelenggarakan dan menjual produk jasa layanan yang diberikan kepada konsumen (peserta didik, orang tua peserta didik, komite sekolah, warga masyarakat sekitar dan stakeholder pendidikan). Sebagai salah satu penghasil jasa layanan, sekolah menjadi sorotan dari konsumennya atas produk yang dihasilkan dan ditawarkan yang berujung kepada terciptanya kepuasan pelanggan, kepercayaan dan lahirnya loyalitas pelanggannya.
Menurut Slamet PH (2012), produk layanan jasa pendidikan yang merupakan sebuah sistem dalam menghasilkan output dan outcome  dari serangkaian proses dari mengelola input untuk menjadikan atau menghasilkan produk jasa pendidikan dari sebuah atau beberapa organisasi atau institusi pendidikan. Sistem yang dibangun dari pelayanan jasa pendidikan meliputi pengelolaan input (berupa kurikulum, sarana dan prasarana, PTK, dana, regulasi, organisasi, administrasi, peran serta masyarakat dan kultur sekolah), proses (berupa proses kegiatan bermutu dengan sistem penilaian yang standar), output (berupa prestasi yang dicapai meliputi prestasi akademik, non akademik, angka mengulang dan angka putus sekolah), serta outcome (berupa sampai sejauhmana output memperoleh kesempatan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, diterima oleh pasar, serta kemampuan lulusan mengembangkan diri diluar, serta memunculkan imfact dari suatu proses yang dilakukan.
Sekolah dilihat dari kaca mata corporate, maka sekolah adalah suatu organisasi (entitas) produksi yang menghasilkan jasa pendidikan yang dibeli oleh para konsumen. Apabila sekolah sebagai produsen tidak bisa mampu memasarkan hasil produksinya, dalam hal ini jasa pendidikan, dikarenakan mutunya tidak dapat memuaskan, maka produksi jasa yang ditawarkan tidak  akan laku. Dengan kata lain bahwa sekolah tidak bisa untuk memuaskan  user education sesuai dengan need pasar, sehingga sekolah tersebut tidak akan laku dan terus eksis serta kemudian akan diabaikan oleh konsumennya. 
Gambaran di atas mencerminkan, apakah pendidikan mampu menjual layanan jasa  pendidikan sebagai produk bermutu kepada konsumennya, maka sistem penyelenggaraan pendidikan dengan manajemen pendidikan harus menyelenggarakan kegiatan bermutu agar mampu menghasilkan produk bermutu pula. Sukses layanan bermutu adalah tercapainya kepuasan konsumen yang secara abstrak atas serangkaian proses dan yang dilakukan sampai dengan mampu menghasilkan produk yang mampu bersaing dan mendapat pengakuan di luar organisasi. Konsep kepuasan, kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap sesuatu produk jasa pendidikan yang dihasilkan merupakan kunci dari layanan pendidikan bermutu.
Tranformasi sekolah di era kontemporer menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu pendidikan oleh komite sekolah, adminitrator, guru, staff, peserta didik dan orang tua dalam komunitas sekolah, serta stakeholder yang sangat berkepentingan atas tercapai dan terlaksananya mutu pendidikan. Upaya strategis yang dimulai dengan membangun mutu ternyata banyak “gagal”, yang dibuktikan dengan masih banyaknya sekolah yang kalah bersaing secara internal dan ekternal dalam penciptaan dan pencapaian mutu secara keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif dengan sekolah lain secara lokal maupun nasional. Persaingan produk akhirnya berujung kepada, bagaimana memasarkan produk jasa layanan pendidikan kepada konsumen dengan standar-standar jasa pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berfokus pada layanan jasa pendidikan berdasarkan permintaan konsumen, yang berujung kepada munculnya istilah “marketing” dalam layanan jasa pendidikan, yang kemudian harus mengacu kepada kegiatan komunikasi pemasaran yang efektif.
Komunikasi pemasaran dilakukan oleh pengelola sekolah untuk mengkomunikasikan pesan-pesan sekolah sesuai dengan yang dikehendaki pasar, dimana sekolah sebagai lembaga ilmiah sudah harus mengkomunikasikan lembaganya pada hal-hal yang ilmiah  dengan cara melakukan  publikasi prestasi melalui media independen serta membangun brand image-nya melalui sesuatu yang bisa diterima oleh pasar yang berbeda dengan sekolah lainnya. Komunikasi dibangun sebagai ajang promosi, atau sebagai bentuk iklan produk yang akan dijadikan pertimbangan oleh konsumen untuk menjadi rujukan, tujuan dan pilihan penggunaan oleh konsumen. Bentuk pemasaran yang efektif dalam pendidikan dapat juga dilakukan melalui dialog yang baik dan terus menerus dengan pelanggan. Pemasaran yang efektif adalah pemasaran yang dipilih oleh peserta didik untuk kepentingan mereka masing-masing. Konsekuensi dari kesuksesan pelajar adalah kesuksesan institusi pendidikannya.
Makna sekolah berkualitas bukanlah sekolah yang berhasil menamatkan peserta didiknya 100% ketika mengikuti Ujian Nasional (UN) sebagai bentuk output dari sistem penyelenggaraan pendidikan. Namun pada hakekatnya sekolah berkualitas merupakan serangkaian proses yang dilakukan oleh sekolah sebagai suatu sistem dalam melakukan penyelenggaraan pendidikan kepada peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan sehingga menghasilkan output yang baik, dan outcome yang diterima oleh pasar. Orientasi output, dengan mengabaikan sistem sebagai suatu alur kerja akan menghasilkan sesuatu yang stagnan, sesaat, dan tidak akan mampu bersaing dalam jangka panjang, maka sekolah berkualitas merupakah sebuah organisasi yang bekerja menggunakan pendekatan sistem yang berorientasi input, proses, output dan outcome melalui serangkaian kegiatan penjaminan dengan standar mutu sehingga menjadi produk yang dapat diterima dan dapat memuaskan  pelanggan dan pasar sebagai konsumen, sehingga akan menghasilkan keuntungan sosial.
Membangun dan menciptakan sekolah sebagai pencitraan organisasi berkualitas harus dilakukan secara kontinyu yang dimulai dengan membangun image positife organisasi,  sehingga segala bentuk kegiatan dan hasil yang dicapai akan mampu diterima dan dipercayai oleh pelanggan dan pasar, sehingga produk yang dihasilkan mendapatkan kerpercayaan serta jaminan dari konsumen sebagai pengguna produk yang dihasilkan.
Layanan produk dan jaminan produk merupakan sebuah upaya yang harus dibangun oleh organisasi pendidikan (sekolah) agar peserta didik dalam mengikuti proses pendidikan sebagai layanan pendidikan menjadi suatu proses kegiatan yang menyentuh, bermakna serta mampu dipercayai oleh konsumen yang diyakini akan mampu membangun kepercayaan atas hasil yang diinginkan. Membangun kepercayaan konsumen harus dimulai dari komitmen dan membangun kultur budaya organisasi atau budaya sekolah.
Budaya organisasi menjadi prasyarat penting yang harus dibangun oleh manajemen organisasi sehingga arah dan kinerja organisasi dapat berjalan sinergis  dalam membangun visi dan misi organisasi yang dikelola berdasarkan manajemen organisasi yang dipimpin oleh seorang manajer pendidikan yang kompeten, kapabel dan visioner, yang bukan berorientasi sesaat tetapi harus mengarah dan bersifat Sustainable Value-Creation (SVC).
--------------------
            *) Elmiyana Garmawandi, adalah Guru Sosiologi  di SMA Negeri 1 Tanjungpandan
                     Kabupaten Belitung, Provinsi Kep. Bangka Belitung.

UJIAN NASIONAL, DAN UJIAN ETIKA

UJIAN NASIONAL, UJIAN ETIKA DAN PETA
KINERJA GURU DI DAERAH
Oleh Elmiyana Garmawandi *)
PANDANGAN miris akan terlihat dalam beberapa hari ke depan, di mana peserta didik dalam hal ini siswa SMA/SMK dan MA akan melakukan kegiatan Ujian Nasional 2012 yang merupakan sebuah rangkaian kegiatan untuk mengukur indikator keberhasilan pencapaian mutu pendidikan secara nasional. Anak kita akan menjadi kelinci percobaan dari sebuah program kegiatan pendidikan nasional untuk mengevaluasi hasil kinerja penyelenggaraan pendidikan yang selalu mengalami permasalahan dalam pencapaian tujuan dan mutu pendidikan secara nasional. Ujian Nasional merupakan ujian berat bagi genearasi muda bangsa ini untuk mempertaruhkan masa depannya dalam mencari dan menjadi yang terbaik untuk mendapatkan predikat lulus dan berebut kursi kemasa depan pendidikan yang layak dan bergengsi demi masa depannya. Pertarungan idealisme, politik  dan kecerdasan membuat semua orang tua dan peserta didik menjadi orang yang pesakitan dalam menentukan nasib dan kehidupan masa depan yang dipertaruhkan dalam hitungan hari. Akankah perjuangan selama beberapa tahun ditentukan nasibnya dalam beberapa hari saja ?  Miris melihatnya ! Perjuangan mungkin lagi tidak akan berdarah-darah, karena perjuangan telah dimulai dalam beberapa bulan yang lalu dalam bentuk canalaisasi dan pemerasan berpikir untuk mencapai sesuatu dalam sesaat. Pendidikan tidak lagi berproses, tapi pendidikan sudah menjadi sebuah kegiatan drillisasi, suatu pemaksaan berpikir untuk mendapatkan sesuatu yang tidak sewajarnya dilakukan terhadap generasi muda bangsa ini.
Pertanyaan yang muncul dibenak pemimpin-pemimpin kita ! Benarkah tindakan itu ? Benarkan pendidikan merupakan serangkaian proses dari sebuah sistem ! jelas tidak. kanalisasi dan drillisasi pendidikan bukan sebuah proses, tapi melanggar dan mengabaikan sebuah proses dan etika pendidikan. Proteskah orang tua peserta didik kita ? Pastinya tidak ? Meraka pasrah dan memasrahkan anaknya untuk menjadi robot dan manusia pesakitan yang dipaksa untuk diisikan otaknya dengan sesuatu yang jelas-jelas melanggar suatu proses. Pemerkosaan pemikiran dan kebebasan berkarya untuk tujuan yang sesaat. Pemimpin pendidikan kita dan juga guru kita sudah harus berpikir tentang makna dan hakekat pendidikan yang membelajarkan, dan bukan pendidikan yang mengabaikan konsep berpikir cerdas dan memberdayakan guru dalam melakukan suatu proses pendidikan dan pembelajaran bermakna. Guru tidak lagi melakukan komitmen profesionalnya, tetapi guru kita sudah melakukan tindakan pembodohan karakter dengan melakukan sempalan ilmu yang dipaksanakan untuk mencapai sesuatu yang sesaat.
Lebih miris lagi ? Redaksi Pagi salah TV Swasta nasional (Minggu, 15/04/2012) memotret prilaku gila siswa-siswa dibeberapa daerah yang sudah lagi tidak bisa diterima dengan akan sehat. Mereka mendatangi kuburan-kuburan sesepuh, kuburan-kuburan keramat yang dianggap mereka akan dapat meluluskan mereka lolos dari lubang jarum yang namanya UN agar bisa lulus 100%. Sedihkan kita ? kalau peserta didik sudah mulai kehilangan etika dan percaya dirinya, dan kemudian melakukan tindakan kurang sehat ! Ternyata UN membawa dampak negatif terhadap perkembangan psikologi mereka yang “tidak siap” dan meragukan kemampuan dirinya. Bahkan yang lebih miris lagi, kita akan melihat prilaku anak kita pada saat UN dilaksanakan. Mereka akan beramai-ramai dan secara bergantikan pergi ke toilet serta hal-hal sejenisnya untuk mendapatkan jawaban UN yang belum tentu benar isinya, serta prilaku-prilaku unethical yang tidak semuanya bisa diterima akal. Sedihkan guru kita melihat prilaku anak didiknya melakukan ritual ke kuburan untuk lulus ujian ? Ini sudah pertanda bahwa guru Indonesia sudah kurang dipercaya untuk membawa mereka berhasil melaksanakan hajatan nasional demi masa depan mereka.
Guru ternyata dianggap kurang profesional, dan itu memang perlu dipertanyakan ! Keraguan peserta didik bukan tidak mendasar. Coba lihat hasil uji kompetensi guru UN ! sangat memprihatikan. Ternyata tidak wajar kalau siswanya berhasil dalam UN, kalau gurunya sendiri tidak berhasil dan gagal dalam mencerminkan dirinya sebagai seorang profesional yang siap mengantarkan siswanya sukses UN 2012. Buktikan dan uji dengan teori korelasi ? Signifikankah !
Mari sekarang kita berpikir, sudah benarkan UN sebagai instrumen penentu keberhasilan peserta didik dalam proses pembeajaran. Sebaiknya kita sudah harus berpikir bahwa itu semua keliru. UN sebaiknya jangan dilaksanakan dan digunakan sebagai komponen kelulusan, tapi sebaiknya digunakan sebagai instrumen pemetaan saja, sedangkan kelulusan serahkan saja kepada guru dan sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan otonomi pendidikan secara berdaya. UN sebaiknya tidak dilaksanakan sebagai penentu, tapi UN dilakukan sebagai kegiatan terstruktur yang hanya berfungsi sebagai pemetaaan dan indikator nasional tercapainya tujuan pendidikan. Kemudian juga sebagiknya UN dilaksanakan searah dengan garis-garis otonomi pendidikan yang kesemuanya dlakukan sebagai ukuran nasional yang dilakukan untuk mengukur kompetensi pendidikan di daerah, yang selanjutnya kemudian dijadikan sebagai rujukan kearah pencapaian indikator mutu pendidikan nasional
Akhirnya ? Selamat berjuang anak-anak Indonesia ? berhasil dan gagal adalah suatu keputusan yang harus diterima sebagai sebuah komitmen diri mencapai keberhasilan. Dan selanjutnya kepada kita guru Indonesia, berikanlah sesuatu yang berguna bagi anak bangsa ini, janganlah kita (guru) dijadikan sebagai kambing hitam kegagalan dari sistem pendidikan nasional. Tapi mari kita berjuang memperbaiki sistem itu, agar kita menjadi manusia yang lebih berdaya dan lebih rasional dalam memandang suatu masalah.
--------------------
*) Elmiyana Garmawandi, adalah Guru SMA Negeri 1 Tanjungpandan - Kabupaten Belitung,
    Provinsi Kep. Bangka Belitung.